INDONESIAKU

Judul yang terkesan sinis memang, seakan judul tersebut menggambarkan bahwa penulis adalah seorang yang menyesal dilahirkan sebagai orang Indonesia dan hidup di antara sekian ratus juta rakyat Indonesia. Yah, mungkin memang ada benarnya juga bila beberapa kata terakhir dalam kalimat sebelumnya dimodifikasi menjadi “… dan hidup di antara sekian ratus juta rakyat Indonesia - yang merasa dirinya adalah yang paling hebat”. Kalau ada yang bertanya “kenapa?” mungkin dia belum lama tinggal di Indonesia atau mungkin sudah lama tinggal di Indonesia tapi tidak menyadari watak buruk orang Indonesia yang satu ini, atau bisa jadi dia adalah satu di antara sekian banyak orang yang berwatak seperti itu. Benar, sebagian besar orang-orang Indonesia merasa dirinya adalah yang paling hebat, paling benar, dan paling berani terutama saat dalam keadaan berkelompok kecenderungan untuk berlaku seperti itu akan semakin besar apalagi bila keadaan sekitar mendukung. Beberapa minggu yang lalu penulis mendengar berita tentang sekelompok suporter sepak bola dari sebuah klub di Jawa Tengah merusak dan menjarah barang-barang dari toko-toko di sebuah jalan yang mereka lalui. Kenapa? Apa yang mendorong mereka untuk melakukan hal rendah semacam itu? Pertanyaan itu terus menjadi fokus bagi penulis. Akhirnya penulis mencoba untuk berimajinasi menjadi salah satu suporter tersebut, berada satu bus dengan rombongan mereka penuh dengan orang-orang yang memakai baju yang berwarna sama, menyanyikan yel-yel yang liriknya menghina klub rival keras-keras tanpa ada yang melarang. Yang terjadi kemudian adalah pelan tapi pasti perasaan tersebut mulai menjalar dalam diri penulis, perasaan dimana kami merasa tidak ada yang lebih hebat dari kami saat ini, saya yang paling hebat. Dalam kondisi tersebut penulis yakin para suporter tersebut akan sangat mudah melakukan hal yang di luar batas kewajaran mereka karena yang ada dalam pikiran mereka saat itu adalah mereka yang paling hebat, tidak akan ada yang berani melawan kami. Akhirnya terjadilah peristiwa yang memalukan tersebut. Mereka menjarah dan merusak toko-toko para pedagang di daerah tersebut dan pergi begitu saja. Namun yang tidak mereka sadari adalah perasaan tersebut juga dapat menghinggapi para korban-korban mereka yang merasa senasip sepenanggungan di tambah lagi bahwa daerah tersebut adalah tempat tinggal mereka maka perasaan paling hebat itu pun akan semakin besar. Itu lah yang terjadi saat kelompok suporter tersebut pulang dan kembali melewati jalan tersebut. Jika contoh di atas terlalu ekstrem mungkin kita bisa mengambil contoh dari lingkungan sekitar kita. Lihat saja status update di facebook atau timeline twitter. Pasti ada saja orang yang memamerkan apa yang mereka lakukan seakan-akan mereka sudah menjadi yang paling hebat. Kalau hanya sekedar seperti itu mungkin masih bisa diterima, akan tetapi terkadang ada embel-embel di belakangnya yang secara tidak langsung atau mungkin bahkan kadang ada yang menyatakan secara terang-terangan merendahkan orang atau kelompok lain dan hal inilah yang memupuk kebencian di antara masyarakat Indonesia sendiri. Keadaan ini diperparah dengan orang-orang yang mengiyakan saja tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu hanya karena mereka satu kelompok sehingga permasalahan menjadi tidak subyektif lagi. Setelah membaca tulisan ini mungkin beberapa pembaca akan berkomentar sinis seperti “Halah, bilang orang lain sok-sokan sendirinya juga sok bener..”. Yup, saya juga satu di antara orang Indonesia yang saya bicarakan di atas, mungkin ini sudah terwariskan dalam diri kita sebagai orang Indonesia. Yang bisa kita lakukan adalah tidak membiarkan sifat buruk yang satu ini menjadi sifat dominan dalam diri kita sehingga pada akhirnya nanti tidak akan terwariskan kepada anak cucu kita.